Kita
tahu, bahwa manusia di dunia ini tidak ada yang sempurna, begitu juga dengan
saya. Kali ini saya ingin berbagi cerita tentang salah satu pengalaman berharga
dalam hidup saya. Sekitar 3 tahun yang lalu, ketika saya sedang berjalan-jalan sendirian untuk membuang rasa
jenuh, saya kebetulan bertemu dengan salah seorang ibu yang sudah agak tua,
usianya sekitar 48 tahun. Beliau duduk sendirian dan terlihat seperti orang
kebingungan sambil menunggu kereta yang akan datang. Lalu saya menghampiri
beliau, karena kebetulan kursi tempat ibu tersebut kosong. Sambil menunggu
kereta yang datang, saya tiba-tiba mendapatkan dorongan untuk bertanya kepada
ibu tersebut, dan akhirnya saya mulai menyapa ibu tersebut. “selamat siang bu,
mengapa ibu terlihat seperti kebingungan?” tanya saya. Ibu itu menjawab “saya memang
sedang bingung nak, saya bingung bagaimana besok untuk makan dan untuk membayar
pengobatan anak saya yang sedang dirawat di rumah sakit” ibu itu tiba-tiba
langsung menceritakan keluh kesahnya.
Lalu
saya bertanya, “memang anak ibu sedang sakit apa?”. Ibu itu mengatakan “anak
saya terkena tumor dibagian leher, dan pengobatannya semakin mahal saja, dan
saya tidak tahu harus mencari uang kemana untuk membayar pengobatan anak saya”
wajah ibu itu sekejap berubah menjadi sedih dan mengeluarkan air mata. Kemudian
saya bertanya, “memang suami ibu kemana?”. Ibu itu menjawab “ suami saya sudah
meninggal 2 tahun yang lalu, dan saya sekarang hanya tinggal berdua dengan anak
saya”, “apakah di jakarta ibu tidak memiliki sanak saudara?” tanya saya. “saya
anak yatim piatu dan saya tidak memiliki siapapun didunia ini kecuali anak
saya” jelas ibu itu.
Sehingga
saat keretapun datang, kami berdua menaiki kereta tersebut dan saya hampir saja
lupa memperkenalkan diri saya. “oh iya bu, nama saya Shira, nama ibu siapa?
Tanya saya. “nama ibu Aminah nak”. “ibu akan turun di stasiun apa?” tanya saya.
“saya akan turun di stasiun jayakarta nak”. Saya bertanya “apa ibu aminah tidak
membeli tiket?”. Ibu Aminah menjawab, “saya tidak punya uang untuk membeli
tiket kereta nak”. “apa ibu tidak mendapat masalah jika tidak membeli tiket?”
tanya saya. “ibu pernah diusir keluar paksa, dan pernah sempat dipukul oleh
petugas”. Dalam hati, saya hanya bisa meringis dan tidak habis pikir kenapa
bisa ada hal-hal seperti itu. Saya hanya bisa mengatakan kepada ibu Aminah “ibu
harus terus bersabar ya, semoga ibu mendapatkan jalan keluar yang terbaik untuk
musibah yang telah menerpa keluarga ibu “. Sebelum ibu turun, saya menjabat
tangan ibu dan menyelipkan selembar uang 50 ribu dengan harapan bisa membantu
ibu Aminah.
Pintu
kereta terbuka dan ibu Aminah mengucapkan terima kasih. Ketika ibu Aminah turun
dan berjalan keluar, tiba-tiba kaki saya berjalan menuruni kereta. Dalam hati
saya bertanya-tanya, “kenapa saya turun dari kereta?”, “apakah saya telah
dibohongi?”, ketika saya turun dari kereta muncul semua pertanyaan-pertanyaan
tersebut. Sehingga akhirnya saya memutuskan untuk mengikuti ibu Aminah.
Saya
mengikuti ibu Aminah dari belakang, selama hampir setengah jam saya mengikuti
beliau sehingga saya sampai disebuah perkampungan kumuh di daerah pinggiran
stasiun jayakarta. “Speechless!” engga bisa berkata apa-apa lagi. Saya terus
mengikuti ibu Aminah sampai ke rumahnya, dan tak kalah mengejutkan lagi,
rumahnya hanya terbuat dari kardus dan kayu yang sudah tua. Dalam hati, “tempat
apa itu?”, “apa tempat seperti itu bisa dikatakan tempat yang layak untuk
ditinggali?”. Saya mulai termenung dan bertanya-tanya sendiri. “kenapa? Kenapa
ya Allah ada hal yang seperti ini?”. Sambil terdiam dan terus memerhatikan
rumah ibu Aminah. Saya melihat ibu Aminah keluar rumah pergi ke sebuah warung
kecil, terlihat ibu Aminah sedang membeli beberapa kebutuhan rumah tangga, lalu
ibu Aminah pulang kembali kerumahnya.
Sekitar
setengah jam saya menunggu di sekitar rumah ibu Aminah, terlihat ibu Aminah
keluar rumah membawa tas dan berjalan keluar dari perkampungan rumah ibu Aminah
tinggal. Saya memutuskan mengikuti ibu Aminah kembali, dengan rasa penasaran
yang terus memuncak. Kini perjalanan cukup lumayan jauh, dan ketika ibu Aminah
naik angkot, saya hampir saja kehilangan jejaknya dan akhirnya langsung sigap
menaiki bajaj yang kebetulan lewat dan langsung meminta supir bajaj tersebut
mengikuti angkot tersebut. Saya agak lupa apa nama rumah sakitnya, karena saya
kurang mengenali daerah sekitar.
Setibanya
dirumah sakit, saya masih terus mengikuti ibu Aminah yang akan memasuki ruang
rawat inap kelas 3. Sekejap suasana berubah menjadi hening ketika saya melihat
ibu Aminah tengah membelai kepala seorang bocah lelaki yang sedang tertidur
ruang rawat inap kelas 3 itu. Air mata saya mulai jatuh, berusaha mengatakan
pada diri saya. “itu nyata ra!”, “apa yang kamu lihat saat ini benar adanya”.
Dari luar kamar, saya terus memperhatikan ibu Aminah dan anaknya. Saya sangat
kasihan dan prihatin sekali. Melihat fasilitas rumah sakit yang kurang memadai,
kamar yang di isi 10 orang pasien membuat kamar tersebut menjadi panas dan
terlihat sesak. Tapi anak ibu Aminah tidak mengeluh, mungkin anak ibu Aminah
sudah mengerti apa yang telah mereka alami.
Saya
berjalan keluar dan tersentak melihat keadaan yang baru saja lihat. Rasa sedih
yang luar biasa melanda diri saya. “kenapa anak ibu Aminah tidak bisa
mendapatkan perawatan yang layak? Apa karena ibu Aminah orang miskin jadi harus
mendapatkan perlakuan kasar? Kenapa tidak ada orang yang membantunya?”.
Sepanjang perjalanan pulang, saya hanya bisa termenung dan berdoa didalam hati.
Ya Allah, bantulah ibu Aminah agar ia bisa melewati cobaan dalam hidupnya,
berikan kesembuhan kepada anak ibu Aminah agar bebannya menjadi berkurang. Sore
itu merupakan pertemuan yang sangat mengharukan untuk saya. Awalnya saya
mengira ibu Aminah akan menipu saya dengan semua ceritanya. Namun semua pikiran
negatif tentang ibu Aminah hilang ketika saya melihat kondisi tempat tinggal
ibu Aminah dan anak ibu Aminah yang tengah dalam perawatan.
Setelah
kejadian tersebut, banyak sekali pelajaran hidup yang saya peroleh. Ibu Aminah
adalah seorang ibu yang berjiwa besar, sabar yang pernah saya temui. Meskipun itu
pertemuan pertama dan terakhir untuk saya dengan beliau, tapi saya sangat
bersyukur. Berkat beliau saya jadi tahu rasanya kehidupan kota yang keras,
perjuangan, kasih sayang masih teringat sampai saat ini. Saya hanya bisa
berharap rakyat kecil bisa hidup layaknya manusia normal, mendapatkan tempat
tinggal yang layak, diperlakukan dengan adil dan semestinya. Saya juga berharap
rakyat kecil juga diberikan bantuan jika mereka sedang mengalami musibah dan
membutukan fasilitas rumah sakit dan makanan.
Setelah
3 tahun berlalu, alhamdulillah akhirnya doa dan harapan saya terkabul. Akhirnya
jakarta memiliki pemimpin yang sangat peduli dengan rakyat kecil. Walaupun baru
saat ini bisa terealisasikan, tapi saya masih terus berharap dengan adanya
pemimpin yang peka seperti saat ini, saya berharap tidak ada lagi ibu
Aminah-ibu Aminah yang lainnya lagi yang akan hidup kesusahan di tengah ibukota
yang semakin padat ini.